Jumat, 26 Februari 2010

AIR BUPATI ?

AIR BUPATI ? LA tak dapat menahan tawa yang pecah berhamburan diatas meja di depan Koran harian pagi terbitan local. Semburan air yang keluar dari mulut LA tidak dapat ditahan lagi. Tekanannya cukup lumayan. Tampak kelihatan bercak-bercak membasahi kertas Koran yang kusam. Dari judul berita itu saja LA sudah dapat menebak isi berita yang bertuliskan huruf-huruf berukuran kecil yang tidak dapat dibaca, bila tidak menggunakan kacamata. “Maklumlah,.. mata LA sudah tidak normal lagi dan memerlukan penanganan medis untuk normalisasi”. Ada gambar sejumlah warga di bawah judul di Koran itu. Tampaknya mereka sedang galau dan risau karena air yang sebelumnya mengalir ke rumah mereka sekarang terhenti total. Ape pasal tu ? Tulah,.. Pemilik pipa-pipa itu yang tak lain adalah Bupati sudah tidak mampu mengalirkan air ke rumah warga karena tak lagi memiliki dana untuk biaya pemeliharaan dan perawatan. Bupati berada di Jakarta untuk menjalani sidang di Pengadilan Tipikor. Keluarga Bupati yang mengurus system pendistribusian air ke warga mengaku tidak lagi memiliki biaya untuk perawatan. “Tulah,.. Kalo gratis seperti itu akhirnya. Apalagi pengelolaannya tidak mengikuti system yang sebenarnya yang diatur menurut ketentuan yang ada. Memang setiap orang bisa mengelola Sumber Daya Air tetapi tidak seenak-enaknya saja. Ada aturan dan mekanisme hukum, kelembagaan, tekhnik dan keuangan yang harus diikuti sebab Air dikuasai oleh Negara untuk kemakmuran masyarakat di segala bidang ? Sebagai seorang Bupati mestinya tahu hal itu. Niat baik saja belum cukup tetapi harus dibarengi cara pelaksanaan yang tepat dan baik pula. Mengadakan pipa-pipa dari sumber air dan menghubungkannya dengan rumah-rumah warga, kemudian dialirkan airnya lalu dinikmati setiap hari dalam volume yang tak terukur dan secara gratis, sebenarnya ada sisi baiknya yaitu warga bisa menikmati air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Gratis lagi. Wah enak dong. Buat sumur saja harus pake uang. Kemudian harus mengeluarkan uang lagi setiap bulannya untuk biaya pemakaian listrik karena air yang berada di dalam tanah disedot menggunakan pompa. Sisi kurang baiknya, kenapa hari ini warga tidak bisa lagi menikmati air itu ? Padahal air dibutuhkan sepanjang waktu. Apalagi di saat intensitas curah hujan relatif kecil dan air sumur sudah mengering, warga tentu sangat membutuhkannya. “Tak punya biaya pemeliharaan untuk merawat kebocoran ?”. Terus,.. Perencanaan awalnya seperti apa kemaren ? Kenapa ada Air Bupati dan ada Air PDAM, ada air gratis dan ada air bayar ? Bukankah PDAM itu sendiri merupakan BUMD yang modalnya mayoritas dimiliki Kepala Daerah ? Bukankah Sistem Penyediaan Air Minum juga harus memperhatikan aspek kontiniutas pengaliran, alokasi air yang terukur, pembiayaan yang jelas dan hak dan kewajiban antara pengelola dan pemakai jasa ? Hanya Bupati lah yang tahu. Dua tahun lalu, LA sudah mendapatkan informasi tentang rencana itu dari salah seorang Pegawai PDAM di daerah itu. LA tertawa ketika itu. Lalu LA memberikan masukan kepada Pegawai PDAM itu agar di konsultasikan kepada Pemerintah Daerah setempat dengan membawa bukti-bukti dan aturan main SPAM yang sebenarnya. LA menduga, muatan politisnya sangat kental karena Bupati, diusung oleh partai politik pada Pilkada. Bupati juga pengurus Partai Politik. LA hanya bisa memberikan masukan saja. Pernah permasalahan itu LA sampaikan disalah satu koran lokal tetapi tidak diterbitkan. Tak tahulah,.. Mudah-mudahan saja warga dapat kembali menikmati air bersih dengan sistem yang tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari. LA prihatin dan ikut merasakan apa yang dirasakan warga.

2 komentar:

  1. Paling-paling itu dilakukan untuk kepentingan politik semata-mata. Sebelum terpilih barangkali Bupati memasang jaringan pipa melalui pengadaan sendiri, untuk memperoleh dukungan dari masyarakat. Biasalah...

    BalasHapus
  2. selamat ya Mboss..............

    BalasHapus